Senin, 01 Maret 2010

Hak Asasi Manusia (4)

1. PBB dan Hak Asasi Manusia
Ide tentang hak asasi manusia yang berlaku saat ini merupakan senyawa yang dimasak di kancah Perang Dunia II. Selama perang tersebut, dipandang dari segi apa pun akan terlihat bahwa satu aspek berbahaya dari pemerintahan Hitler adalah tiadanya perhatian terhadap kehidupan dan kebebasan manusia. Karenanya, perang melawan kekuatan Poros dibela dengan mudah dari segi perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan yang mendasar. Negara Sekutu menyatakan di dalam "Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa" (Declaration by United Nations) yang terbit pada 1 Januari 1942, bahwa kemenangan adalah "penting untuk menjaga kehidupan, kebebasan, independensi dan kebebasan beragama, serta untuk mempertahankan hak asasi manusia dan keadilan." Dalam pesan berikutnya yang ditujukan kepada Kongres, Presiden Franklin D. Roosevelt mengidentifikasikan empat kebebasan yang diupayakan untuk dipertahankan di dalam perang tersebut: kebebasan berbicara dan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan dari hidup berkekurangan, dan kebebasan dari ketakutan akan perang.
Pembunuhan dan kerusakan dahsyat yang ditimbulkan Dunia II menggugah suatu kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu guna mencegah perang, untuk membangun sebuah organisasi internasional yang sanggup meredakan krisis internsional serta menyediakan suatu forum untuk diskusi dan mediasi. Organisasi ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa / PBB, yang telah memainkan peran utama dalam pengembangan pandangan kontemporer tentang hak asasi manusia.
Para pendiri PBB yakin bahwa pengurangan kemungkinan perang mensyaratkan adanya pencegahan atas pelanggaran besar-besaran terhadap hak-hak manusia. Lantaran keyakinan ini, konsepsi-konsepsi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang paling awal pun bahkan sudah memasukkan peranan pengembangan hak asasi manusia dan kebebasan. Naskah awal Piagam PBB (1942 dan 1943) memuat ketentuan tentang hak asasi manusia yang harus dianut oleh negara manapun yang bergabung di dalam organisasi tersebut, namun sejumlah kesulitan muncul berkenaan dengan pemberlakuan ketentuan semacam itu. Lantaran mencemaskan prospek kedaulatan mereka, banyak negara bersedia untuk "mengembangkan" hak asasi manusia namun tidak bersedia "melindungi" hak itu.
Akhirnya diputuskan untuk memasukkan sedikit saja acuan tentang hak asasi manusia di dalam Piagam PBB (UN Charter), di samping menugaskan Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) -- komisi yang dibentuk PBB berdasarkan sebuah ketetapan di dalam piagam tersebut -- untuk menulis sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia. Piagam itu sendiri menegaskan kembali "keyakinan akan hak asasi manusia yang mendasar, akan martabat dan harkat manusia, akan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan serta antara negara besar dan negara kecil." Para penandatangannya mengikrarkan diri untuk "melakukan aksi bersama dan terpisah dalam kerja sama dengan Organisasi ini "untuk memperjuangkan" penghargaan universal bagi, dan kepatuhan terhadap, hak asasi manusia serta kebebasan-kebebasan mendasar untuk seluruh manusia, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama."
Komisi Hak Asasi Manusia mempersiapkan sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada tanggal 10 Desember 1948. Pernyataan ini, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights), diumumkan sebagai "suatu standar pencapaian yang berlaku umum untuk semua rakyat dan semua negara" Hak-hak yang disuarakannya disebarkan lewat "pengajaran dan pendidikan" serta lewat "langkah1angkah progresif, secara nasional dan internasional, guna menjamin pengakuan, dan kepatuhan yang bersifat universal dan efektif terhadapnya."
Dua puluh satu pasal pertama Deklarasi tersebut menampilkan hak-hak yang sama dengan yang terdapat di dalam Pernyataan Hak Asasi Manusia (Bill of Rights) yang termaktub di dalam Konstitusi Amerika Serikat sebagaimana yang telah diperbarui saat ini. Hak-hak sipil dan politik ini meliputi hak atas perlindungan yang sama dan tidak pandang bulu, perlindungan hukum dalam proses peradilan, privasi dan integritas pribadi, serta partisipasi politik. Namun pasal 22 sampai 27 menciptakan kebiasaan baru. Pasal-pasal ini mengemukakan hak atas tunjangan ekonomi dan sosial seperti jaminan sosial -- suatu standar bagi kehidupan yang layak -- dan pendidikan. Hak-hak ini menegaskan bahwa, sesungguhnya, semua orang mempunyai hak atas pelayanan-pelayanan dari negara kesejahteraan.
Hak asasi manusia, sebagaimana yang dipahami di dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia yang muncul pada abad kedua puluh seperti Deklarasi Universal, mempunyai sejumlah ciri menonjol. Pertama, supaya kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas, hak asasi manusia adalah hak. Makna istilah ini tidak jelas -- dan akan menjadi salah satu obyek penelitian saya -- namun setidaknya kata tersebut menunjukkan bahwa itu adalah norma-norma yang pasti dan memiliki prioritas tinggi yang penegakannya bersifat wajib.
Kedua, hak-hak ini dianggap bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak relevan untuk mempersoalkan apakah seseorang memiliki atau tidak memiliki hak asasi manusia. Ini juga menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri khusus dari hak asasi manusia yang berlaku sekarang adalah bahwa itu merupakan hak internasional. Kepatuhan terhadap hak serupa itu telah dipandang sebagai obyek perhatian dan aksi internasional yang sah.
Ketiga, hak asasi manusia dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya didalam sistem adat atau sistem hukum di negara-negara tertentu. Hak ini boleh jadi memang belum merupakan hak yang efektif sampai ia dijalankan menurut hukum, namun hak itu eksis sebagai standar argumen dan kritik yang tidak bergantung pada penerapan hukumnya.
Keempat, hak asasi manusia dipandang sebagai norma-norma yang penting. Meski tidak seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa perkecualian, hak asasi manusia cukup kuat kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam benturan dengan norma-norma nasional yang bertentangan, dan untuk membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi hak asasi manusia. Hak-hak yang dijabarkan di dalam Deklarasi tersebut tidak disusun menurut prioritas; bobot relatifnya tidak disebut. Tidak dinyatakan bahwa beberapa di antaranya bersifat absolut. Dengan demikian hak asasi manusia yang dipaparkan oleh Deklarasi itu adalah sesuatu yang oleh para filsuf disebut sebagai prima facie rights.
Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah. Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya, dianggap tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan terhadapnya. Pemerintah dan orang-orang yang berada di mana pun diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang, kendati pemerintah dari orang tersebut mungkin sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu.
Akhirnya, hak-hak ini menetapkan standar minimal bagi praktek kemasyarakatan dan kenegaraan yang layak. Tidak seluruh masalah yang lahir dari kekejaman atau pementingan diri sendiri dan kebodohan merupakan problem hak asasi manusia. Sebagai misal, suatu pemerintah yang gagal untuk menyediakan taman-taman nasional bagi rakyatnya memang dapat dikecam sebagai tidak cakap atau tidak cukup memperhatikan kesempatan untuk rekreasi, namun hal tersebut tidak akan pernah menjadi persoalan hak asasi manusia.
Meski hak asasi manusia dianggap menetapkan standar minimal, deklarasi-deklarasi kontemporer tentang hak asasi manusia cenderung untuk mencantumkan hak dalam jumlah yang banyak dan bersifat khusus, dan bukannya sedikit serta bersifat umum. Deklarasi Universal menggantikan tiga hak umum yang diajukan oleh Locke -- yakni hak atas kehidupan, kebebasan, dan kekayaan pribadi -- dengan sekitar Hak Asasi Manusia dua lusin hak khusus. Di antara hak-hak sipil dan politik yang dicanangkan adalah hak untuk bebas dari diskriminasi; untuk memiliki kehidupan, kebebasan, dan keamanan; untuk bebas beragama; untuk bebas berpikir dan berekspresi; untuk bebas berkumpul dan berserikat; untuk bebas dari penganiayaan dan hukuman kejam; untuk menikmati kesamaan di hadapan hukum; untuk bebas dari penangkapan secara sewenang-wenang; untuk memperoleh peradilan yang adil; untuk mendapat perlindungan terhadap kehidupan pribadi (privasi); dan untuk bebas bergerak. Hak sosial dan ekonomi di dalam Deklarasi mencakup hak untuk menikah dan membentuk keluarga, untuk bebas dari perkawinan paksa, untuk memperoleh pendidikan, untuk mendapatkan pekerjaan, untuk menikmati standar kehidupan yang layak, untuk istirahat dan bersenang-senang, serta untuk memperoleh jaminan selama sakit, cacat, atau tua.
Deklarasi Universal menyatakan bahwa hak-hak ini berakar di dalam martabat dan harkat manusia, serta di dalam syarat-syarat perdamaian dan keamanan domestik maupun internasional. Dalam penyebarluasan Deklarasi Universal sebagai sebuah. "standar pencapaian yang bersifat umum," PBB tidak bermaksud untuk menjabarkan hak-hak yang telah diakui di mana-mana atau untuk mengundangkan hak-hak ini di dalam hukum intemasional. Justru Deklarasi tersebut mencoba untuk mengajukan norma-norma yang ada di dalam moralitas-moralitas yang sudah mengalami pencerahan. Meski tujuan sejumlah besar partisipan Deklarasi itu adalah untuk menampilkan hak-hak ini di dalam sistem hukum domestik maupun internasional, hak tersebut dipandang bukan sebagai hak-hak hukum (legal rights) melainkan sebagai hak-hak moral yang berlaku secara universal (universal moral rights).
Turunan-turunan Deklarasi Universal tidak hanya meliputi pernyataan hak asasi manusia di dalam banyak konstitusi nasional melainkan juga sejumlah perjanjian internasional tentang hak asasi. Yang pertama dan barangkali yang paling berarti adalah Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights). Konvensi yang dicetuskan di Dewan Eropa (European Council) pada 1950 ini menjadi sistem yang paling berhasil yang dibentuk demi penegakan hak asasi manusia. Konvensi ini menyebutkan hak-hak yang kurang lebih serupa dengan yang terdapat di dalam dua puluh satu pasal pertama Deklarasi Universal. Konvensi tersebut tidak memuat hak ekonomi dan hak sosial; hak-hak ini dialihkan ke dalam Perjanjian Sosial Eropa (European Social Covenant), dokumen yang mengikat para penandatangannya untuk mengangkat soal penyediaan berbagai tunjangan ekonomi dan sosial sebagai tujuan penting pemerintah.
Sejumlah kalangan mengusulkan agar suatu pernyataan hak asasi internasional di PBB hendaknya tidak berhenti menjadi sekadar suatu deklarasi melainkan juga tampil sebagai norma-norma yang didukung oleh prosedur penegakan yang mampu mengerahkan tekanan intemasional terhadap negara-negara yang melanggar hak asasi manusia secara besar-besaran. Rencana yang muncul di PBB adalah meneruskan Deklarasi Universal dengan perjanjian-perjanjian yang senada. Naskah Perjanjian Internasional (International Covenants) diajukan ke Majelis Umum guna mendapatkan persetujuan pada tahun 1953. Untuk menampung usulan mereka yang meyakini bahwa hak ekonomi dan hak sosial bukan merupakan hak asasi manusia yang sejati atau bahwa hak-hak tersebut tidak dapat diterapkan dalam cara yang sama dengan penerapan hak-hak sipil dan politik, dua perjanjian dirancang, yaitu Perjanjian Hak-hak Sipil dan Politik (Covenant on Civil and Political Rights) serta Perjanjian Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights).
Lantaran permusuhan dalam era Perang Dingin saat itu, dan tamatnya dukungan bagi perjanjian hak asasi manusia yang dibuat Amerika Serikat, gerakan yang didasarkan pada Perjanjian Internasional ditangguhkan dalam waktu yang lama. Perjanjian itu belum juga disetujui Majelis Umum sampai 1966. Selama tahun-tahun tersebut ketika Perjanjian itu tampaknya tak berpengharapan, PBB mengeluarkan sejumlah perjanjian hak asasi manusia yang lebih terbatas yang bersangkutan dengan topik-topik yang relatif tidak kontroversial seperti pemusnahan suku bangsa / genosid, perbudakan, pengungsi, orang-orang tanpa kewarganegaraan, serta diskirminasi. 8 Perjanjian-perjanjian ini umumnya ditandatangani oleh sejumlah besar negara -- walau tidak ditandatangani oleh Amerika Serikat -- dan lewat mereka PBB mulai memetik sejumlah pengalaman untuk menjalankan perjanjian-perjanjian hak asasi manusia.
Pada selang waktu antara Deklarasi Universal yang terbit pada tahun 1948 dan persetujuan akhir Majelis Umum bagi Perjanjian Intemasional yang keluar pada tahun 1966, banyak negara Afrika dan Asia yang baru terbebas dari kekuasaan penjajah, memasuki PBB. Negara-negara ini umumnya bersedia mengikuti upaya berani untuk menegakkan hak asasi manusia, namun mereka memodifikasikannya guna mewakili kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri: mengakhiri kolonialisme, mengutuk eksploitasi negara-negara Barat terhadap negara-negara sedang berkembang, serta menghancurkan apartheid dan diskriminasi rasial di Afrika Selatan. Perjanjian yang lahir pada tahun 1966 itu menyatakan kebutuhan-kebutuhan tersebut: keduanya berisi paragraf-paragraf yang serupa yang menegaskan hak setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri dan untuk mengontrol sumber-sumber alam mereka sendiri. Hak atas kekayaan pribadi dan atas ganti rugi untuk kekayaan yang diambil oleh negara, yang tercantum dalam Deklarasi Universal, dihapuskan dari Perjanjian itu.
Setelah persetujuan dari Majelis Umum keluar pada tahun 1966, Perjanjian itu memerlukan tanda tangan dari tiga puluh lima negara untuk diikat di dalam daftar para penandatangan. Negara ketiga puluh lima menerakan tandatangan pada tahun 1976, dan Perjanjian itu kini berlaku sebagai hukum internasional.
2. Ciri-Ciri Gagasan Hak Asasi Manusia Kontemporer
Kendati ide mutakhir hak asasi manusia dibentuk semasa Perang Dunia II, pengertian baru tersebut masih tetap menggunakan sejumlah gagasan umum tentang kebebasan, keadilan, dan hak-hak individu. Tidak begitu keliru untuk memandang naik daunnya kosakata hak asasi manusia belakangan ini sebagai penyebarluasan gagasan lama belaka. Gagasan bahwa hukum kodrat atau hukum dari Tuhan mengikat semua orang dan mengharuskan adanya perlakuan yang layak adalah soal kuno, dan gagasan ini erat terkait dengan gagasan tentang hak kodrati di dalam tulisan-tulisan para teroretisi seperti Locke dan Jefferson maupun di dalam deklarasi hak seperti Deklarasi Hak Manusia dan Hak Warga Negara (Declaration of the Rights of Man and the Citizen) di Perancis dan Pernyataan Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat (Bill of Rights). Gagasan bahwa hak-hak individu berhadapan dengan pemerintah bukanlah hal baru, dan orang dapat mengatakan bahwa gagasan hak asasi manusia yang ada saat ini hanya merupakan pengembangan konsep ini.
Namun kalau kita menganggap bahwa Deklarasi Universal dan Perjanjian Internasional secara umum mewakili pandangan kontemporer mengenai hak asasi manusia, meskipun dapat mengatakan bahwa pandangan tentang hak asasi manusia saat ini memiliki tiga perbedaan dibanding konsepsi-konsepsi sebelumnya, terutama yang berlaku pada abad kedelapan belas. Hak asasi manusia yang ada saat ini bersifat lebih egalitarian, kurang individualistis, dan memiliki fokus intemasional.
Egaliterianisme
Egaliterianisme dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia saat ini terlihat jelas, pertama, dalam tekanannya pada perlindungan dari diskriminasi, maupun pada kesamaan di hadapan hukum. Meski manifesto-manifesto hak asasi manusia yang lahir pada abad kedelapan belas terkadang juga mencanangkan kesederajatan di depan hukum, perlindungan dari diskriminasi merupakan perkembangan yang baru muncul pada abad kesembilan belas dan kedua puluh. Kemenangan atas perbudakan datang pada abad kesembilan belas, namun perjuangan melawan sikap-sikap dan praktek-praktek yang bersifat rasis merupakan perjuangan sentral yang lahir pada abad kita. Tuntutan akan persamaan bagi perempuan di seluruh bidang kehidupan juga baru saja ditempatkan di dalam agenda hak asasi manusia.
Kedua, egalitarianisme yang terdapat dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia kontemporer dapat dilihat dalam pencantuman hak kesejahteraan. Konsepsi-konsepsi hak politik terdahulu biasanya memandang fungsi hak politik adalah untuk menjaga agar pemerintah tidak mengganggu rakyat. Penyalah gunaan kekuasaan politik dinilai sebagai soal pelanggaran pemerintah untuk melakukan sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan, dan bukan merupakan soal kegagalan pemerintah untuk melakukan sesuatu yang seharusnya mereka lakukan. Kewajiban-kewajiban yang lahir dari hak-hak ini sebagian besar adalah kewajiban negatif (negative duties) -- yaitu kewajiban-kewajiban untuk menahan diri, atau kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu. Kewajiban positif (positive duties) sebagian besar ditemukan dalam kewajiban pemerintah untuk melindungi hak-hak rakyat dari gangguan internal dan eksternal.
Hak atas perlindungan hukum (hak atas sidang pengadilan yang adil, kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang, kebebasan dari penganiayaan dan dari hukuman kejam) dipandang sebagai penangkal bagi penyalah gunaan sistem hukum. Penyalahgunaan-penyalahgunaan sistem hukum ini mencakup manipulasi sistem hukum untuk menguntungkan sekutu serta merugikan musuh penguasa, memenjarakan lawan politik, dan memerintah lewat teror.
Hak atas privasi (kehidupan pribadi) dan otonomi (kebebasan dari intervensi terhadap rumah tangga dan korespondensi, kebebasan bergerak, kebebasan memilih tempat tinggal dan lapangan pekerjaan, serta kebebasan berkumpul atau berserikat) dilihat sebagai penangkal bagi intervensi terhadap wilayah pribadi, yang meliputi upaya pemerintah untuk mengawasi bidang kehidupan yang paling pribadi dan untuk mengontrol orang dengan membatasi di mana mereka boleh tinggal, bekerja, dan bepergian.
Hak atas partisipasi politik (hak atas kebebasan berekspresi, atas pengajuan petisi kepada pemerintah, atas pemberian suara, dan atas pencalonan diri untuk jabatan pemerintahan) dinilai sebagai penangkal bagi penyalahgunaan yang berupa upaya untuk menafikan keluhan, menekan perbedaan pendapat dan oposisi, melumpuhkan pembentukan golongan pemilih yang terdidik, serta memanipulasi sistem pemilihan umum guna mempertahankan kekuasaan. Pencegahan berbagai penyalahgunaan ini terutama mengharuskan pemerintah untuk membiarkan rakyatnya bergerak leluasa. Namun lebih dari itu, pemenuhan hak-hak ini mengharuskan adanya pemberian keuntungan positif seperti sidang pengadilan yang adil, pemilihan umum yang bebas, dan perlindungan dari pelanggaran yang dilakukan oleh polisi dan pegawai pemerintah lainnya.
Tetapi sebagaimana yang sering ditunjukkan oleh Marx dan kaum sosialis lainnya, sekalipun pemerintah dibatasi agar tidak melakukan penyalahgunaan yang baru didaftar tersebut, namun problem sosial dan ekonomi seperti perbudakan, kemiskinan, kebodohan, penyakit, diskriminasi, dan eksploitasi ekonomi tidak bakal bergeming karenanya. Jadi sejak tampilnya Marx, gerakan bagi perubahan sosial mulai menaruh kepedulian besar terhadap masalah-masalah sosial dan ekonomi ini, maupun terhadap pelanggaran hak-hak politik. Hasilnya adalah upaya untuk memperluas lingkup kosakata hak dengan memasukkan problem-problem tersebut ke dalam agenda hak asasi manusia.
Sarana untuk menyalurkan pelayanan-pelayanan yang dituntut oleh hak-hak ini adalah negara kesejahteraan modern, suatu sistem politik yang menggunakan kewenangan perpajakannya atau kontrol ekonominya untuk mengumpulkan sumber-sumber yang dibutuhkan guna memasok pelayanan-pelayanan kesejahteraan yang esensial bagi seluruh penduduk yang memerlukannya. Kalangan Marxis dan sosialis tidak sendirian dalam upaya pengembangan hak-hak kesejahteraan: "empat kebebasan" dari Roosevelt, misalnya, juga mencakup kebebasan dari hidup berkekurangan.
Rupanya terkandung tiga keyakinan dalam perkembangan tersebut, di mana problem-problem sosial dan ekonomi mulai dilihat sebagai problem-problem yang harus dipecahkan pemerintah dan karenanya, jika tetap tak terpecahkan juga, dipandang sebagai pelanggaran hak-hak politik. Salah satu dari keyakinan ini adalah bahwa kemiskinan; eksploitasi, dan diskriminasi merupakan ancaman bagi kesejahteraan dan martabat manusia, yang sama seriusnya dengan pelanggaran secara sengaja terhadap hak-hak politik tradisional.
Keyakinan kedua adalah bahwa penderitaan manusia dan ketimpangan yang parah bukan merupakan hal yang tak terhindarkan, melainkan merupakan hasil yang lahir dari kondisi sosial, politik dan ekonomi yang dapat diubah sehingga dapat dikenai kontrol moral atau politik. Salah satu dasar bagi pandangan optimis ini adalah tingginya tingkat kemakmuran yang dapat dicapai di Eropa, Amerika Utara, Jepang dan Australia serta kemunculan sistem yang secara politis efektif untuk memberlakukan hak-hak kesejahteraan di negara-negara ini.
Keyakinan terakhir adalah bahwa sistem politik, ekonomi, dan sosial benar-benar tidak dapat dipisahkan -- atau bahwa kekuasaan pemerintah sering diperalat untuk menciptakandan mempertahankan institusi-institusi ekonomi dan sosial yang menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Andaikata pemerintah ikut mendukung suatu sistem ekonomi yang memberikan kekayaan berlimpah bagi segelintir orang dan sebaliknya membiarkan sejumlah besar orang berada dalam kesengsaraan, dan andaikata sistem semacam itu sebenarnya bukannya tak terhindarkan dan sebaliknya dapat digantikan oleh sistem yang jauh lebih mendukung bagi kesejahteraan dan martabat setiap orang, masuk akal tampaknya bila pemerintah dapat dituduh atas keterlibatannya dalam kejahatan-kejahatan yang lahir dari sistem yang ada.
Karena keyakinan-keyakinan ini sudah mulai meluas, pemerintah dibebani tugas untuk menyediakan perbaikan-perbaikan lewat pemanfaatan sumberdaya dan kewenangan redistributifnya.
Reduksi Individualisme
Manifesto-manifesto hak yang mutakhir telah melunakkan individualisme dalam teori-teori klasik mengenai hak-hak kodrati. Dokumen-dokumen baru memandang manusia sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat, bukan sebagai individu yang terisolasi yang musti mengajukan alasan-alasan terlebih dulu agar dapat memasuki masyarakat sipil. Deklarasi Universal, misalnya, menyatakan bahwa "Keluarga merupakan unit kelompok masyarakat yang alami dan mendasar, dan berhak atas perlindungan dari masyarakat maupun Negara." Dalam Perjanjian Internasional, hak-hak kelompok telah dimasukkan di dalam kerangka hak asasi manusia dengan memberikan tempat terhormat bagi hak setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri dan untuk mengontrol sumber-sumber alam mereka. Selanjutnya, hak asasi manusia tidak lagi erat dikaitkan dengan teori kontrak sosial, meski John Bawls telah mencoba untuk membangun kembali kaitan ini. Di dalam dokumen-dokumen mutakhir hak asasi manusia hanya terdapat sedikit acuan pada dasar-dasar filosofis. Upaya-upaya selepas perang untuk merumuskan norma-norma hak asasi manusia internasional telah mengarah pada perpecahan filosofis dan ideologis yang tak dapat dipulihkan kembali. Dalam upaya menghimpun dukungan sebanyak mungkin untuk gerakan hak asasi manusia, landasan filosofis bagi hak asasi manusia sayangnya dibiarkan tak terumuskan.
3. Hak-Hak Internasional
Perbedaan ketiga antara hak asasi manusia yang berlaku sekarang dan hak-hak kodrati pada abad kedelapan belas adalah bahwa hak asasi manusia telah mengalami proses internasionalisasi. Hak-hak ini tidak hanya diwajibkan secara internasional -- sesuatu yang bukan merupakan hal baru -- melainkan saat ini hak tersebut juga dipandang sebagai sasaran yang layak bagi aksi dan keprihatinan internasional. Meski hak kodrati pada abad kedelapan belas juga sudah dilihat sebagai hak bagi semua orang, hak-hak ini lebih sering berlaku sebagai kriteria untuk membenarkan pemberontakan melawan pemerintah yang ada, ketimbang sebagai standar-standar yang bila dilanggar oleh pemerintah akan dapat membenarkan adanya pemeriksaan dan penerapan tekanan diplomatik serta tekanan ekonomi oleh organisasi-organisasi internasional. Kendati negara tetap berkehendak mempertahankan kedaulatannya dan ingin mencegah kalangan luar agar tidak melakukan campur tangan ke dalam urusan-urusan mereka, prinsip bahwa pemeriksaan internasional dan sanksi nonmiliter dapat dibenarkan dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berskala besar, kini memiliki kedudukan yang mantap.
Saat ini sistem paling efektif bagi penegakan internasional terhadap hak asasi manusia ditemukan di Eropa Barat, yakni di dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights). Konvensi ini memberikan sebuah pernyataan hak asasi manusia, Komisi Hak Asasi (Human Rights Commission) untuk memeriksa keluhan-keluhan, dan Mahkamah Hak Asasi Manusia (Human Rights Court) untuk menangani persoalan-persoalan interpretasi. Setiap negara yang meratifikasi Konvensi Eropa harus mengakui kewenangan Komisi Hak Asasi Manusia untuk menerima, memeriksa, dan menengahi keluhan-keluhan dari negara-negara anggota lainnya tentang pelanggaran hak asasi manusia. Pertanggungjawaban terhadap keluhan-keluhan yang diajukan oleh individu bersifat pilihan, sebagaimana prosedur untuk merujukkan seluruh persoalan yang tidak dapat dipecahkan oleh komisi itu kepada Mahkamah Hak Asasi Manusia.
Komisi Hak Asasi Manusia, yang menerima beratus-ratus keluhan setiap tahun mempelajari apakah keluhan itu dapat diterima, serta memeriksa dan menengahi keluhan yang memang dapat diterima. Negosiasi yang didasari oleh semangat persahabatan dengan pihak-pihak yang terlibat merupakan prosedur standar, namun bila ini gagal, suatu perkara dapat diajukan ke Mahkamah Hak Asasi Manusia atau ke Komite Menteri (Committee of Ministers) di Dewan Eropa. Komisi dan Mahkamah hak asasi manusia itu saat ini sudah menangani banyak kasus serta telah menyusun kerangka prosedur dan peraturan yang cukup banyak. Secara umum mereka telah maju dengan sangat hati-hati, namun kehati-hatian ini telah dihargai lewat kepercayaan negara-negara anggotanya terhadap integritas sistem ini dan oleh kesediaan terus-menerus dari badan-badan tersebut untuk menerima pembatasan kedaulatan yang disyaratkan oleh sistem ini.
Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), yang dibentuk di PBB, juga menyediakan prosedur -- meski lebih lemah ketimbang prosedur dalam Konvensi Eropa -- bagi perlindungan internasional terhadap hak asasi manusia. Perjanjian ini menciptakan Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee) untuk mengawasi kepatuhan, sebuah Komite dengan tiga fungsi pokok. Fungsi pertama adalah untuk mengkaji laporan-laporan dari negara-negara yang tunduk pada Perjanjian itu yang disyaratkan guna menyampaikan "langkah-langkah yang telah mereka ambil yang memberikan pengaruh pada hak-hak yang diakui disini dan mengenai kemajuan-kemajuan yang dibuat dalam pemenuhan hak-hak ini". Fungsi kedua adalah untuk menerima, mempertimbangkan, dan menengahi keluhan dari suatu anggota bahwa anggota lainnya melanggar ketentuan-ketentuan Perjanjian tersebut. Suatu negara berkedudukan rawan di hadapan tuntutan-tuntutan semacam itu hanya jika ia menerima kewenangan komite itu untuk menerima keluhan. Hanya enam belas dari delapan puluh negara yang sudah meratifikasi perjanjian itu yang bersedia bertanggung jawab terhadap keluhan-keluhan yang diajukan ke Komite. Fungsi ketiga Komite ini adalah untuk menerima, mempertimbangkan dan menengahi keluhan-keluhan dari individu-individu yang berdiam di negara yang melanggar kewajiban-kewajibannya. Protokol yang bersifat pilihan yang menunjukkan kesediaan Komite Hak Asasi Manusia untuk menerima keluhan-keluhan individual semacam itu telah mendapatkan tanda tangan yang cukup untuk dapat diberlakukan. Masih harus dilihat seberapa efektif Komite ini menegakkan norma-norma Perjanjian tersebut, namun jelas bahwa hanya sedikit, jikalau memang ada, sanksi berat yang ditetapkannya.
Sistem perlindungan hak asasi manusia serupa itu adadi dalam OAS (Organization of American States / Organisasi Negara-Negara Amerika). Komisi Inter-Amerika untuk Hak Asasi Manusia (Inter-American Commission on Human Rights) didirikan pada 1959 dan menjadi organ resmi OAS pada tahun 1970. Komisi ini memainkan peran penting dalam usaha untuk menyelidiki serta membeberkan pelanggaran hak di Amerika Latin sepanjang dekade tujuh puluhan. Pada 1969 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia (American Convention on Human Rights) disahkan lewat sebuah konferensi khusus yang disponsori OAS.
Konvensi Amerika memperoleh ratifikasi yang cukupuntuk mulai diberlakukan pada tahun 1978. Konvensi ini melahirkan dua institusi, Komisi Inter-Amerika untuk Hak Asasi Manusia dan Mahkamah Inter-Amerika untuk Hak Asasi Manusia (Inter-American Court of Human Rights). Komisi ini merupakan pengganti bagi komisi yang pernah dibentuk pada 1959 dan komisi ini berpijak pada piagam OAS maupun pada konvensi tersebut. Ini menggabungkan peranan pendahulunya dengan fungsi-fungsi yang diberikan konvensi itu. Mahkamah tersebut menyelenggarakan pertemuan pertamanya pada 1979 dan sejak itu sudah mengeluarkan sejumlah pendapat yang bersifat Saran. Pada Maret 1986 Mahkamah ini menerima kasus litigasi pertamanya.
Mahkamah ini terdiri dari tujuh hakim, yang dipilih oleh negara-negara yang telah meratifikasi konvensi itu. Meski sistem Inter-Amerika mirip dengan sistem Eropa dalam banyak hal, konteks sosial dan politik bagi pengoperasiannya sama sekali berbeda. Apalagi, problem hak asasi manusia yang dihadapinya jauh lebih berat. Berdasarkan alasan-alasan- ini, evolusinya bakal menarik untuk disimak. Di Afrika, OAU (Organization of African Unity / Organisasi Persatuan Afrika) baru-baru ini mengesahkan Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Rakyat (African Charter on Human and Peoples' Rights). Namun, Di Timur Tengah dan di Asia, institusi-institusi regional yang dibentuk bagi pengembangan hak asasi manusia belum muncul sama sekali.

HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
Secara teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. Sedangkan hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer), dan negara.
Berdasarkan beberapa rumusan hak asasi manusia di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa sisi pokok hakikat hak asasi manusia, yaitu :
a. HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
b. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa.
c. HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.
Jika melihat hakikat HAM yang sebenarnya, tentu akan sangatlah indah dibayangkan apabila HAM yang terjadi di Indonesia benar-benar seperti itu. Akan tetapi realitas yang ada tidak seperti itu, bahkan bertolak belakang. HAM yang katanya sangat dilindungi dan dihormati di injak-injak begitu saja oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Pelanggaran HAM sering terjadi pada semua aspek kehidupan, sebut saja salah satu contoh kekerasan terhadap perempuan. Hal ini bukanlah satu hal yang asing dikalangan rakyat Indonesia.
Menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dr. Meutia Hatta Swasono, seperti yang dikutip dari http// : www.kapan lagi. com, mengatakan bahwa kekerasa terhadap perempuan masih terus berlangsung dalam bentuk yang bervariasi bahkan menimbulkan dampak yang cukup kompleks. “Yang merasakan kekerasan itu bukan hanya isteri atau perempuan yang terluka, tetapi juga anak-anak yang hidup dan menyaksikan kekerasan dilingkungannya”. Ia juga menambahkan, anak dimungkinkan meniru terhadap apa yang mereka lihat, sehingga menganggapnya bahkan menyesuaikan perbedaan. Karena itu, kekerasan terhadap perempuan baik yang bersifat publik maupun domestik harus secepatnya dicegah.
Selain pelenggaran HAM yang berupa kekerasan terhadap perempuan ada juga pelanggaran HAM yang berkaitan dengan persoalan-persoalan politik di Indonesia dan beberapa sebab yang lain yang sebenarnya sudah sangat melampui batas.
Berikut ini akan ditampilkan beberapa contoh pelanggaran HAM di Indonesia selama Orde Baru sepanjang tahun 1990-1998, seperti yang dikutip dari http//:www.sekitarkita.com, adalah sebagai berikut :
1991 :
1. Pembantaian dipemakaman santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda. Pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya 200 orang meninggal
1992 :
1. Keluar Kepres tentang Monopoli perdagangan oleh perusahaan Tommy Suharto
2. Penangkapan Xanana Gusmao
1993 :
1. Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993.
1996 :
1. Kerusuhan anti Kristen di Tasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan kerusuhan Tasikmalaya. (26 Desember 1996)
2. Kasus tanah Balongan
3. Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Mucura Enim mengenai pencemaran lingkungan
4. Sengketa tanah Manis Mata
5. Kasus Waduk Nipoh di Madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat. Ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka
6. Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja di bakar
7. Kerusuhan Sambas Sangvaledo. (30 Desember 1996)
1997 :
1. Kasus tanah Kemayoran
2. Kasus pembantaian mereka yang di duga pelaku dukun santet di Ja-Tim
1998 :
1. Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus. Aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan di perkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13-15 Mei 1998
2. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di Jakarta, dua hari sebelum kerusuhan Mei
3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demontrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13-14 November 1998 dan dikenal dengan Tragedi Semanggi, dan lain-lain.
Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil pelanggaran HAM yang ada di Indonesia, masih banyak contoh-contoh lain yang tidak dapat semuanya ditulis disini.
Dari fakta dan paparan contoh-contoh pelanggaran HAM di atas dapat diketahui hahwa HAM di Indonesia masih sangat memperiatinkan. HAM yang diseru-serukan sebagai Hak Asasi Manusia yang paling mendasarpun hanya menjadi sebuah wacana dalam suatu teks dan implementasinya pun (pengamalannya) tidak ada. banyak HAM yang secara terang-terangan dilanggar seakan-akan hal tersebut adalah sesuatu yang legal.
Sangat minimnya penegakan HAM di Indonesia bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1. Telah terjadi krisis moral di Indonesia
2. Aparat hukum yang berlaku sewenang-wenang
3. Kurang adanya penegakan hukum yang benar.
Dan masih banyak sebab-sebab yang lain.
Melihat seluruh kenyataan yang ada penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa HAM di Indonesia sangat memprihatinkan dan masih sangat minim penegakannya. Banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi, hal itu bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti yang telah diuraikan di atas. Maka untuk dapat menegakkan HAM di Indonesia perlu :
1. Kesadaran rasa kemanusiaan yang tinggi
2. Aparat hukum yang bersih, dan tidak sewenang-wenang
3. Sanksi yangtegas bagi para pelanggara HAM
4. Penanaman nilai-ilai keagamaan pada masyarakat
Dan hal-hal yang bersifat positif. Demikian paper yang penulis buat tentang Hak Asasi Manusia, semoga bermanfaat. Saran dan kritik selalu penulis tunggu perbaikan dimasa yang akan datang.
Konsep Hak Asasi Manusia
Konsep Hak Asasi Manusia dalam UU. Nomor 39 Tahun 1999: Telaah dalam Perspektif Islam
Dewasa ini hak asasi manusia tidak lagi dipandang sekadar sebagai perwujudan paham individualisme dan liberalisme seperti dahulu. Hak asasi manusis lebih dipahami secara humanistik sebagai hak-hak yang inheren dengan harkat martabat kemanusiaan, apa pun latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin dan pekerjaannya. Konsep tentang hak asasi manusia dalam konteks modern dilatarbelakangi oleh pembacaan yang lebih manusiawi tersebut, sehingga konsep HAM diartikan sebagai berikut:
“Human rights could generally be defined as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human beings”
Dengan pemahaman seperti itu, konsep hak asasi manusia disifatkan sebagai suatu common standard of achivement for all people and all nations, yaitu sebagai tolok ukur bersama tentang prestasi kemanusiaan yang perlu dicapai oleh seluruh masyarakat dan negara di dunia.
Pada tataran internasional, wacana hak asasi manusia telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Sejak diproklamirkannya The Universal Declaration of Human Right tahun 1948, telah tercatat dua tonggak historis lainnya dalam petualangan penegakan hak asasi manusia internasional. Pertama, diterimanya dua kovenan (covenant) PBB, yaitu yang mengenai Hak Sipil dan Hak Politik serta Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dua kovenan itu sudah dipemaklumkan sejak tahun 1966, namun baru berlaku sepuluh tahun kemudian setelah diratifikasi tiga puluh lima negara anggota PBB. Kedua, diterimanya Deklarasi Wina beserta Program Aksinya oleh para wakil dari 171 negara pada tanggal 25 Juni 1993 dalam Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia PBB di Wina, Austria. Deklarasi yang kedua ini merupakan kompromi antar visi negara-negara di Barat dengan pandangan negara-negara berkembang dalam penegakan hak asasi manusia.
Di Indonesia, diskursus tetang penegakan hak asasi manusia juga tidak kalah gencarnya. Keseriusan pemerintah di bidang HAM paling tidak bermula pada tahun 1997, yaitu semenjak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) didirikan setelah diselenggarakannya Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 1991. Sejak itulah tema tentang penegakan HAM di Indonesia menjadi pemebicran yang serius dan berkesinambungan. Kesinambungan itu berwujud pada usaha untuk mendudukkan persoalan HAM dalam kerangka budaya dan sistem politik nasioanal sampai pada tingkat implementasi untuk membentuk jaringan kerjsama guna menegakkan penghormatan dan perlindungan HAM tersebut di Indonesia. Meski tidak bisa dipungkiri adanya pengaruh internasional yang menjadikan hak asasi manusia sebagai salah satu isu global, namun penegakan hak asasi manusia di Indonesia lebih merupakan hasil dinamika intrenal yang merespon gejala internasional secara positif.
Adalah pada tahun 1999 lah, Indonesai memiliki sistem hukum yang rigid dan jelas dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan pelangaran HAM di Indonesia. Diberlakukannya UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia kendati agak terlambat merupakan langkah progresif dinamis yang patut dihargai dalam merespon isu internasional di bidang hak asasi manusia walaupun masih perlu dilihat dan diteliti lebih jauh isinya.
Beberapa pertanyaan mendasar muncul pada waktu itu sampai saat ini. Bagaimana konsep HAM menurut undang-undang tersebut? Sejauh mana memiliki titik relevansi dengan dinamisasi masyarakat? Bagaimana penegakannya selama ini? Seberapa besar ia mengakomodasi nilai-nilai universal?
Tulisan singkat ini tidak akan menjawab semua persoalan di atas, tetapi hanya akan mencoba menelisik persoalan HAM di Indonesia dengan melakukan pengujian terhadap instrumen UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM secara sederhana dan melakukan studi komparatif dengan konsep HAM dalam Islam mengingat keberadaan Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim. Pembahasan akan diawali dengan membeberkan konsep HAM dalam kerangka UU. No. 39 tahun 1999, dilanjutkan dengan HAM dalam perspektif Islam dan diakhiri dengan analisis berupa kajian UU tentang HAM ditinjau dalam perspektif Islam.
Konsep HAM dalam UU. No. 39 tahun 1999
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Dalam Undang-undang ini pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila, UUD 45 dan TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998.
Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari:
1. Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk kelaurga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah atas kehendak yang bebas.
3. Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
4. Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.
5. Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia.
6. Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
7. Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
8. Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.
9. Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.
10.Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam
Masalah hak asasi manusia menurut para sarjana yang melakukan penelitian pemikiran Barat tentag negara dan hukum, berpendapat bahwa secara berurut tonggak-tonggak pemikiran dan pengaturan hak assasi manusia mulai dari Magna Charta (Piagam Agung 1215), yaitu dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan raja John dari Inggris kepada bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan raja tersebut. Kedua adalah Bill of Right (Undang-Undang Hak 1689) suatu undang-undang yang diterima oleh parlemen Inggris, setelah dalam tahun 1688 melakukan rrevolusi tak berdarah (the glorius revolution) dan berhasil melakukan perlawanan terhadap raja James II. Menyusul kemudian The American eclaration of Indepencence of 1776, dibarengi dengan Virginia Declaration of Right of 1776. seterusnya Declaration des droits de I’homme et du citoyen (pernyataan hak-hak manusai dan warga negara, 1789) naskah yang dicetuskan pada awal revolusi Perancis sebagai perlawanan terhadap kesewenang-wenangan raja dengan kekuasaan absolut. Selanjutnya Bill of Right (UU Hak), disusun oleh rakyat Amerika Serikatr pada tahun 1789, bersamaan waktunya dengan revolusi Perancis, kemudain naskah tersebut dimasukkan atau doitambahkan sebagai bagian dari Undang-Undang Dasar Amerika Serikat pada tahun 1791.
Beberapa pemikiran tentang hak asasi manusia pada abad ke 17 dan 18 di atas hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politis saja, misalnya persamaan hak, kebebasan, hak memilih dan sebagainya. Sedangkan pada abad ke 20, ruang lingkup hak asasi manusia diperlebar ke wilayah ekonomi, sosial, dan budaya.
Berdasar naskah-naskah di atas, Franklin Delano Roosevelt (Presiden Amerika ke-32) meringkaskan paling tidak terdapat Empat Kebebasan (The Four Freedoms) yang harus diakui, yakni
(1) freedom of speech (kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat,
(2) freedom of religion (kebebasan beragama),
(3) freedom from want (kebebasan dari kemiskinan), dan
(4) freedom from fear (kebebasan dari rasa takut).
Jika dilihat lebih seksama, semua yang termasuk isi utama dari naskah-naskah politik di atas, yang berkaitan dengan hak asasi manusia, terdapat dalam al-Qur’an, sedangkan Empat Kebebsan terdapat dalam Konstitusi Madinah, baik tersirat maupun tersurat. Kendati demikian, Konstitusi Madinah yang sudah tersurat pada tahun 622 (abad ke-7 M) dan al-Qur’an sudah selesai dikumpulkan dan ditulis sebagai kitab pada tahun 25 H (tahun 647 M) tetapi ternyata dalam studi tentang hak-hak asasi manusia oleh kebanyakan para sarjana tidak disinggung sama sekali. Padahal kalau dibandingkan dengan naskah-naskah di atas, semuanya tertinggal tujuh sampai tiga belas abad di belakang Konstitusi Madinah dan al-Qur’an.
Secara historis, berbicara tentang konsep HAM menurut Islam dapat dilihat dari isi Piagam Madinah. Pada alenia awal yang merupakan “Pembukaan” tertulis sebagai berikut:
بسم الله الرحمن الرحيم. هذا كتاب من محمد النبي صلى الله عليه وسلم بين المؤمنين والمسلمين من قريش و يثرب و من تبعهم فلحق بهم وجاهد معهم
Terdapat sedikitnya lima makna pokok kandungan alenia tersebut, yaitu pertama, penempatan nama Allah SWT pada posisi terata, kedua, perjanjian masyarakat (social contract) tertulis, ketiga, kemajemukan peserta, keempat, keanggotaan terbuka (open membership), dan kelima, persatuan dalam ke-bhineka-an (unity in diversity).
Hak asasi manusia yang terkandung dalam Piagam Madinah dapat diklasifikasi menjadi tiga, yaitu hak untuk hidup, kebebasan, dan hak mencari kebahagiaan.
1. Hak untuk hidup
Pasal 14 mencantumkan larangan pembunuhan terhadap orang mukmin untuk kepentingan orang kafir dan tidak boleh membantu orang kafir untuk membunuh orang mukmin. Bahkan pada pasal 21 memberikan ancaman pidana mati bagi pembunuh kecuali bila pembunuh tersebut dimaafkan oleh keluarga korban.
2. Kebebasan
Dalam konteks ini, kebebasan dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu:
a. Kebebasan mengeluarkan pendapat
Musyawarah merupakan salah satu media yang diatur dalam Islam dalam menyelesaikan perkara yang sekaligus merupakan bentuk penghargaan terhadap kebebasan mengeluarkan pendapat.
b. Kebebasan beragama
Kebebasan memeluk agama masing-masing bagi kaum Yahudi dan kaum Muslim tertera di dalam pasal 25.
c. Kebebasan dari kemiskinan
Kebebasan ini harus diatasi secara bersama, tolong menolong serta saling berbuat kebaikan terutama terhadap kaum yang lemah. Di dalam Konstitusi Madinah upaya untuk hal ini adalah upaya kolektif bukan usaha individual seperti dalam pandanagn Barat.
d. Kebebasan dari rasa takut
Larangan melakukan pembunuhan, ancaman pidana mati bagi pelaku, keharusan hidup bertetangga secara rukun dan dami, jaminan keamanan bagi yang akan keluar dari serta akan tinggal di Madinah merupakan bukti dari kebebasan ini.
3. Hak mencari kebahagiaan
Dalam Piagam Madinah, seperti diulas sebelumnya, meletakkan nama Allah SWT pada posisi paling atas, maka makna kebahagiaan itu bukan hanya semata-mata karena kecukupan materi akan tetapi juga harus berbarengan dengan ketenangan batin.
Relevansi Konsep HAM dalam UU No. 39 tahun 1999 dan Islam
Walaupun tidak sampai pada tingkatan studi kritis dan dengan mencoba melakukan komparasi secara sederhana antara konsep hak asasi manusia yang tertuang dalam UU No. 39 tahun 1999 dengan konsep HAM dalam Islam melalui pendekatan relevansional maka studi ini bermaksud menjawab pertanyaan sejauh mana relevansi antar kedua konsep tersebut.
Untuk melakukan kajian ini kita dapat membagi ke dalam beberapa domain, antara lain Ketuhanan Yang Maha Esa, keadilan, kesejahteraan bersama,
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Piagam Madinah dimulai dengan kalimat basmalah. Dalam pasal 22 ditegaskan bahwa orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak akan menolong pelaku kejahatan dan juga tidak akan membelanya. Bilamana terjadi peristiwa ataun perselisihan di antara pendukung Piagam Madinah yang dikhawatirkaan akan menimbulkan bahaya dan kerusakan, penyelesaiannya menurut ketentuan Allah, demikian ditetpakan dalam pasal 42.
Sedangkan dalam UU. No. 39 tahun 1999 tepatnya pada bagian “Ketentuan Umum” point 1 disebutkan bahwa hak asasi manusia merupakan sebuah hak yang melekat pada manusia dalam eksistensinya sebagai ciptaan Tuhan dan merupakan anugerah-Nya. Artinya persoalan penghormatan dan perlindungan HAM tidak saja menempatkan manusia pada posisi sentral (antropoSentris) akan tetapi terdapat dimensi transendental yang juga harus diperhatikan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep penegakan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam terminologi Islam disebut tauhid tertera baik dalam Piagam Madinah maupun UU tentang HAM.
2. Keadilan
Keadilan tercantum secara tegas baik di dalam Islam yang tertera dalam al-Qur’an maupun dalam Piagam Madinah maupun di dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan konstitusi mana saja di dunia ini. Bahkan kata keadilan ini bergema pada setiap ada persekutuan sosial, tidak terkecuali dalam suatu keluarga. Keadilan, menurut Daniel Webster, adalah kebutuhan manusia yang paling luhur.
Pasal 17, 18, dan 19 UU No. 39 tahun 1999 secara umum menetapkan bahwa bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk memperoleh keadilan. Tentu saja cara mmeperolehnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan melalui mekanisme yang telah diatur. Semua perkara, kasus, dan sengketa yang terjadi dalam masyarakat harus diselesaikan melalui jalur hukum.
Menurut SM. Amin, hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi yang bertujuan mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keadilan, keamanan dan ketertiban terpelihara. Sedangkan dalam konsepsi Islam, berbuat adil merupakan aktivitas yang dekat dengan takwa.
3. Kesejahteraan bersama
Dalam pasal 36 UU No. 39 tahun 1999 disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memiliki demi pengembangan dirinya dengan cara yang tidak melanggar hukum. Lebih jauh lagi dalam pasal 27 (2) UUD 1945 ditetapkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Hak untuk mendapatkan kesejahteraan dalam Islam merupakan salah satu yang diutamakan. Ajaran zakat, infaq dan sodaqoh merupakan bentuk kepedulian Islam terhdapa terciptanya kesejahteraan bersama dan kebebasan dari kemiskinan. Selain itu, Islam juga sangat mengutamakan kebersamaan dan menganjurkan tolong menolong terutama terhadap kaum miskin dan lemah dan oleh karena itu, Islam mengharamkan riba.
Berdasar penelusuran historik, M. Mahfud MD menulis bahwa ada tiga konsepsi dasar yang harus dipenuhi untuk membangun negara yang sejahtera, yaitu perlindungan HAM, demokrasi, dan negara hukum. Ketiga konsep ini lahir dari paham yang menolak kekuasaan absolut menyusul Renaissance yang bergelora di dunia Barat sejak abad XIII.
Pemerintah berkuasa karena rakyat memberi kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan negara, agar negara dapat memberi perlindungan atas Hak-hak Asasi Manusia (HAM). UU. No. 39 tahun 1999 bisa jadi merupakan manifestasi dari pemberian perlindungan tersebut. Jika ditelusuri ternyata konsep HAM dalam UU No. 39 tahun 1999 relevan dengan konsep HAM dalam Islam baik yang tertuang dalam al-Qur’an maupun Piagam Madinah. Bentuk relevansinya terletak pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, keadilan, dan kesejahteraan bersama.
Kendati demikian, pertanyaan kritis yang selalu patut dilayangkan kepada pemerintah adalah bagaimana penegakan HAM pada tataran aplikatif. Serentetan kasus yang berkaitan dengan pelanggaran HAM masih saja terjadi di Indonesia sampai sekarang. Nampaknya pembicaraan tentang hak asasi manusia hanya berhenti pada wilayah diskursif di forum-forum ilmiah tanpa pernah ditindaklanjuti secara nyata.
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain.
HAM setiap individu dibatasi oleh HAM orang lain. Dalam Islam, Islam sudah lebih dulu memperhatikan HAM. Ajaran Islam tentang Islam dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran Islam itu yaitu Al-Qur’an dan Hadits yang merupakan sumber ajaran normatif, juga terdapat dalam praktik kehidupan umat Islam.
Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
Contoh hak asasi manusia (HAM):
1.Hak untuk hidup.
2.Hak untuk memperoleh pendidikan.
3.Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain.
4.Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama.
5.Hak untuk mendapatkan pekerjaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar