Pengertian Dan Ciri Pokok Hakikat HAM
1. Pengertian
• HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya (Kaelan: 2002).
• Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
• John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
• Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
2. Ciri Pokok Hakikat HAM
• Berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri pokok hakikat HAM yaitu:
• HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
• HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa.
• HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM (Mansyur Fakih, 2003).
Perkembangan Pemikiran HAM
Dibagi dalam 4 generasi, yaitu :
1. Generasi pertama berpendapat bahwa pemikiran HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Fokus pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan politik disebabkan oleh dampak dan situasi perang dunia II, totaliterisme dan adanya keinginan Negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan sesuatu tertib hukum yang baru.
2. Generasi kedua pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua menunjukan perluasan pengertian konsep dan cakupan hak asasi manusia. Pada masa generasi kedua, hak yuridis kurang mendapat penekanan sehingga terjadi ketidakseimbangan dengan hak sosial-budaya, hak ekonomi dan hak politik.
3. Generasi ketiga sebagai reaksi pemikiran HAM generasi kedua. Generasi ketiga menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum dalam suatu keranjang yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan. Dalam pelaksanaannya hasil pemikiran HAM generasi ketiga juga mengalami ketidakseimbangan dimana terjadi penekanan terhadap hak ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama, sedangkan hak lainnya terabaikan sehingga menimbulkan banyak korban, karena banyak hak-hak rakyat lainnya yang dilanggar.
4. Generasi keempat yang mengkritik peranan negara yang sangat dominant dalam proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi dan menimbulkan dampak negative seperti diabaikannya aspek kesejahteraan rakyat. Selain itu program pembangunan yang dijalankan tidak berdasarkan kebutuhan rakyat secara keseluruhan melainkan memenuhi kebutuhan sekelompok elit. Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh Negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia yang disebut Declaration of the basic Duties of Asia People and Government
Perkembangan pemikiran HAM dunia bermula dari:
• Magna Charta
Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM di kawasan Eropa dimulai dengan lahirnya magna Charta yang antara lain memuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolute (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggung jawabannya dimuka hukum(Mansyur Effendi,1994).
• The American declaration
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Rousseau dan Montesquuieu. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir ia harus dibelenggu.
• The French declaration
Selanjutnya, pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration (Deklarasi Perancis), dimana ketentuan tentang hak lebih dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam The Rule of Law yang antara lain berbunyi tidak boleh ada penangkapan tanpa alasan yang sah. Dalam kaitan itu berlaku prinsip presumption of innocent, artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah.
• The four freedom
Ada empat hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang diperlukannya, hak kebebasan dari kemiskinan dalam Pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan yang damai dan sejahtera bagi penduduknya, hak kebebasan dari ketakutan, yang meliputi usaha, pengurangan persenjataan, sehingga tidak satupun bangsa berada dalam posisi berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap Negara lain ( Mansyur Effendi,1994).
HAM Dalam Tinjauan Islam
Adanya ajaran tentang HAM dalam Islam menunjukan bahwa Islam sebagai agama telah menempatkan manusia sebagai makhluk terhormat dan mulia. Oleh karena itu, perlindungan dan penghormatan terhadap manusia merupakan tuntutan ajaran itu sendiri yang wajib dilaksanakan oleh umatnya terhadap sesama manusia tanpa terkecuali. Hak-hak yang diberikan Allah itu bersifat permanent, kekal dan abadi, tidak boleh dirubah atau dimodifikasi (Abu A’la Almaududi, 1998). Dalam Islam terdapat dua konsep tentang hak, yakni hak manusia (hak al insan) dan hak Allah. Setiap hak itu saling melandasi satu sama lain. Hak Allah melandasi manusia dan juga sebaliknya. Dalam aplikasinya, tidak ada satupun hak yang terlepas dari kedua hak tersebut, misalnya sholat.
Sementara dalam hal al insan seperti hak kepemilikan, setiap manusia berhak untuk mengelola harta yang dimilikinya.
Konsep islam mengenai kehidupan manusia didasarkan pada pendekatan teosentris (theocentries) atau yang menempatkan Allah melalui ketentuan syariatnya sebagai tolak ukur tentang baik buruk tatanan kehidupan manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakjat atau warga bangsa. Dengan demikian konsep Islam tentang HAM berpijak pada ajaran tauhid. Konsep tauhid mengandung ide persamaan dan persaudaraan manusia. Konsep tauhid juga mencakup ide persamaan dan persatuan semua makhluk yang oleh Harun Nasution dan Bahtiar Effendi disebut dengan ide perikemakhlukan. Islam datang secara inheren membawa ajaran tentang HAM, ajaran islam tentang HAM dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits yang merupakan sumber ajaran normative, juga terdapat praktek kehidupan umat islam.
Dilihat dari tingkatannya, ada 3 bentuk HAM dalam Islam,
• Pertama, Hak Darury (hak dasar). Sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan hanya membuat manusia sengsara, tetapi juga eksistensinya bahkan hilang harkat kemanusiaannya. Sebagai misal, bila hak hidup dilanggar maka berarti orang itu mati.
• Kedua, hak sekunder (hajy) yakni hak-hak yang bila tidak dipenuhi akan berakibat hilangnya hak-hak elementer misalnya, hak seseorang untuk memperoleh sandang pangan yang layak maka akan mengakibatkan hilangnya hak hidup.
• Ketiga hak tersier (tahsiny) yakni hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak primer dan sekunder (Masdar F. Mas’udi, 2002)
Mengenai HAM yang berkaitan dengan hak-hak warga Negara, Al Maududi menjelaskan bahwa dalam Islam hak asasi pertama dan utama warga negara adalah:
• Melindungi nyawa, harta dan martabat mereka bersama-sama dengan jaminan bahwa hak ini tidak kami dicampuri, kecuali dengan alasan-alasan yang sah dan ilegal.
• Perlindungan atas kebebasan pribadi. Kebebasan pribadi tidak bisa dilanggar kecuali setelah melalui proses pembuktian yang meyakinkan secara hukum dan memberikan kesempatan kepada tertuduh untuk mengajukan pembelaan
• Kemerdekaan mengemukakan pendapat serta menganut keyakinan masing-masing
• Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi semua warga negara tanpa membedakan kasta atau keyakinan. Salah satu kewajiban zakat kepada umat Islam, salah satunya untuk memenuhi kebutuhan pokok warga negara.
Wajah HAM di Indonesia
Perkembangan pemikiran HAM di Indonesia:
Pemikiran HAM periode sebelum kemerdekaan yang paling menonjol pada Indische Partij adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakukan yang sama hak kemerdekaan.
Sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai sekarang di Indonesia telah berlaku 3 UUD dalam 4 periode, yaitu:
• Periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949, berlaku UUD 1945
• Periode 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950, berlaku konstitusi Republik Indonesia Serikat
• Periode 17 Agustus sampai 5 Juli 1959, berlaku UUD 1950
• Periode 5 Juli 1959 sampai sekarang, berlaku Kembali UUD 1945
Wajah HAM di Indonesia kelihatannya masih buram walau secercah harapan sebenarnya telah tergoreskan secara pasti dalam konstitusi yang menyiratkan bahwa HAM tersurat dan menjadi ketentuan hukum yang kuat dan mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa diskriminasi.
Namun dalam tataran implementasi masih jauh panggang daripada api. Ketentuan hukumnya sudah sangat baik, tetapi pelaksanaannya masih sangat jauh dari harapan. Korban-korban HAM masih terus bertambah, berbagai kasus HAM tidak terselesaijan secara tuntas.
Komnas HAM yang diharapkan sebagai lembaga yang dibangun untk menyelesaikan masalah HAM di Indonesia dengan slogannya yang kelihatan indah, “HAM untuk SEMUA” kelihatan perannya hanya sebatas tempat mengadu dan kolektor berbagai persolan HAM di Indonesia.
Demikian juga Departeman Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yang hadir di tengah-tengah lautan persoalan HAM di Indonesia dengan otoritas yang sangat kuat dan slogannnya yang sangat luar biasa, “Semua untuk HAM-HAM untuk Semua” ternyata juga lemah dalam menyelesaikan masalah-masalah HAM di negeri ini, apalagi kalau pelanggar-pelanggar HAM melibatkan petinggi-petinggi negeri maka ketidakberdayaan itu semakin jelas dan keberpihakan muncul secara telanjang.
Kalau terjadi pelanggaran HAM di lapangan, yang sering terjadi adalah tindakan aparat hukum yang melakukan pembiaran atas tindak pelanggaran dan baru turun tangan setelah pelanggaran HAM terjadi, dan ironisnya pelanggarnya dibiarkan pergi dan korbanlah yang berurusan dengan aparat.
Salah satu contoh yang marak terjadi adalah pelanggaran HAM dalam hal kebebasan beribadah dan beragama. Korban yang sudah menderita karena teror, intimidasi, dan penganiayaan, tambah menderita lagi, karena “demi” keamanan dan ketertiban”korban diharuskan menutup tempat ibadahnya dan dilarang melakukan kegiatan ibadah di tempat tersebut.
HAM juga kelihatan lebih menarik dijadikan komoditas politik terutama menjelang Pemilu 2009, HAM mulai dilirik dan diangkat kepermukaan oleh parpol-parpol peserta Pemilu 2009 tentunya dengan janji-janji manis untuk menuntaskan berbagai persoalan HAM di Indonesia. Tetapi nanti dulu, mari kita lihat janji Presiden kita pada Pemilu 2004, pada tahap awal pemerintahannya. SBY berpidato dengan semangat yang luar biasa dan meyakinkan dalam tema pidato yang juga luar biasa meyakinkan dan menjanjikan: “INDONESIAKU UNTUK SEMUA, MAJU BERSAMA, MAKMUR BERSAMA.”
Dalam pidatonya, Susilo Bambang Yudhoyono yang saat ini adalah Presiden Republik Indonesia mengatakan: “Setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama, secara hukum tidak boleh lagi ada perlakuan yang diskriminatif dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Oleh karenanya di tahap awal pemerintahan saya nanti, saya pastikan dilakukan evaluasi dan penghentian setiap aturan dan praktek kehidupan dikriminatif, baik yang terjadi di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Kita harus bersama-sama menjalankan gerakan “DISKRIMINASI-NO!” (Disampaikan dalam HUT Partai democrat di Istora Senayan, 9/9 2004).
Janji haruslah ditepati, apalagi janji-janji yang diucapakan di hadapan rakyat dan sesungguhnya untuk rakyat yang juga memilihnya, janji, bukan hanya harus tetapi wajib untuk ditepati. Kelihatannya menjelang akhir pemerintahannya masih banyak PR yang belum terselesaikan. Misalnya berbagai pelanggaran HAM yang masih banyak terjadi dan belum terselesaikan secara tuntas, seperti: kejahatan terhadap kemanusiaan, diskriminasi, penindasan, intimidasi, pemberangusan kekerasan terhadap anak, trafficking, perusakan lingkungan dan perusakan serta penutupan rumah ibadah.
Regulasi yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah ketidak-rukunan dalam masyarakat seperti SKB 1969 dan Perber 2006 ternyata tidak ada korelasinya dengan kerukunan dan ketidak-rukunan di dalam masyarakat, karena terbukti berdasarkan data yang menggambarkan Korelasi Perusakan dan Penutupan Rumah ibadah dengan SKB 1969 dan Perber 2006, terbukti intensitas penutupan rumah ibadah justru semakin meningkat. Sebelum diterbitkannya SKB 1969 rata-rata penutupan Gereja 1 gereja per 4,8 tahun, sedangkan pada masa pemberlakuan SKB selama 37 tahun rata-rata gereja yang ditutup 2-3 gereja per bulan dan pada masa Perber yang baru berjalan 17 bulan 3-4 gereja per bulan.
Intensitas penutupan/perusakan tertinggi terjadi pada masa pemerintahan BJ Habibie.
Begitu banyak data dan cukup bukti atas terjadinya pelanggaran HAM, terutama terhadap rumah ibadah dan hak untuk beribadah, namun aneh tapi nyata, tidak seorang pun pelanggar hukum dan HAM ini ditangkap, diadili dan dihukum!
Hak Atas Kebebasan
“Hak atas kebebasan beragama dan beribadah adalah kebebasan dasar (fundamental freedom rights) yang melekat (inherent) dalam diri setiap manusia yang tidak boleh direnggut oleh siapa pun dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu.”
REGULASI YANG MENDASARI HAK ATAS KEBEBASAN
•Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28e
(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan ber-ibadah menurut agamanya,memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, Memilih kewarganegaraan,memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
• Undang-Undang RI No 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 22
(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
• Pernyataan Umum Tentang Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 18. “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, mempraktekkannya, melaksana-kan ibadahnya dan mentaatinya, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain,dimuka umum maupun sendiri”
• Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Pasal 18.
(1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut, atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.
(2) Tidak seorangpun boleh dipaksa sehingga meng-ganggu kebebasannya untuk Menganut atau menerima suatu agama atau keper-cayaanya sesuai dengan pilihannya
JAMINAN ATAS KEBEBASAN
• UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2
“Negara menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing masing dan ber-ibadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”
• UU RI No 39 Tahun 1999 Pasal 22 ayat 2.
“Negara menjamin kemerdekaan setiap orang me-meluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”
• Sejauh mana Negara melakukan kewajibannya memberikan perlindungan yang memadai? Sejauh mana negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk beragama dan beribadah ?
• Penutupan, Perusakkan dan Pembakaran tempat ibadah dimanapun dan dengan alasan apapun adalah Pelanggaran terhadap hak-hak dasar atas kebebasan beragama dan berkeyakinan
Ketentuan-ketentuan HAM menjadi ketentuan-ketentuan konstitusi di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini tentunya mengandung konsekuensi bahwa ketentuan-ketentuan tersebut harus dilaksanakan secara konsisten dan harmonis dalam segala bentuk kebijakan, peraturan dan administrasi penyelenggaraan Pemerintahan Negara Republik Indonesia dari tingkat Pusat, daerah, kabupaten/kota sampai ke kelurahan/desa.
Tugas, wewenang dan kewajiban pemerintah adalah menjamin kepastian terlaksananya Kebebasan Beragama dan Beribadah menurut Agama dan kepercayaannya itu” (UUD 1945 Pasal 29 ayat 2).
“Sungguh betapa bahagia bila setiap insan di negeri yang kita cintai ini bebas memeluk agama dan dapat menjalankan ibadahnya dengan aman dan damai tanpa gangguan, intimidasi ataupun teror!”
Landasan Hukum Hak Asasi Manusia
Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bagi penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia sehingga diperlukan dasar hukum sebagai berikut :
NORMATIF INTERNASIONAL
• Piagam PBB (United Nation Charter) landasan utama Hukum Internasional tentang HAM
• Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia 1948 ( Universal Declaration Of Human Rights).
• Konvensi tentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia dan telah diratifikasi dengan Keppres No.5 Tahun 1998 yang berarti berlaku secara Nasional.
PEMBAGIAN BIDANG, JENIS dan MACAM HAK ASASI MANUSIA DUNIA :
• Hak asasi pribadi / personal Right
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
• Hak asasi politik / Political Right
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
• Hak azasi hukum / Legal Equality Right
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
• Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
• Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
• Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
HAM Dalam Perundang-Undangan Nasional
Dalam perundang-undangan RI paling tidak terdapat bentuk hukum tertulis yang memuat aturan tentang HAM.
• konstitusi (UUD Negara).
• ketetapan MPR (TAP MPR).
• Undang-undang.
• peraturan pelaksanaan perundang-undangan seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden dan peraturan pelaksanaan lainnya.
Kelebihan pengaturan HAM dalam konstitusi memberikan jaminan yang sangat kuat karena perubahan dan atau penghapusan satu pasal dalam konstitusi seperti dalam ketatanegaraan di Indonesia mengalami proses yang sangat berat dan panjang, antara lain melalui amandemen dan referendum, sedangkan kelemahannya karena yang diatur dalam konstitusi hanya memuat aturan yang masih global seperti ketentuan tentang HAM dalam konstitusi RI yang masih bersifat global. Sementara itu bila pengaturan HAM dalam bentuk Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya kelemahannya, pada kemungkinan seringnya mengalami perubahan.
NORMATIF NASIONAL
• Pembukaan UUD 1945
• Bab X A UUD 1945 yang telah diamandemen yaitu dari Pasal 28 A sampai dengan 28 J.
• TAP MPR No.XVII/MPR/1998.
• UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
• UU No.26 Tahun 2000, tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
• PP No.2 Tahun 2002 mengenai Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia.
• UU No.27 Tahun 2004, tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta Pembentukannya oleh panitiya yang ditunjuk oleh Presiden RI Tahun 2005.
• Komnas HAM, Perlindungan Anak dan Perlindungan Hak Asasi Wanita.
• Keppres No.181 Tahun 1998 tentang Komisi Nati Kkekerasan Terhadap Perempuan.
• Keppres No.129 tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional HAM.
• Inpres No.26 tahun 1998 tentang Penghentian Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam semua perumusan, penyelenggaraan kebijakan perencanaan program atau penyelenggaraan Pemerinahan.
Pengertian Hak Asasi Manusia Di dalam Konstitusi Indonesia
Hak Asasi Manusia adalah hak seseorang manusia yang sangat asasi yang tidak bisa di intervensi oleh manusia diluar dirinya atau oleh kelompok atau oleh Lembaga-lembaga manapun untuk meniadakannya.
Hak Asasi Manusia pada hakekatnya telah ada sejsak seorang manusia masih berada dalam kandungan ibunya hingga ia lahir dan sepanjang hidupnya hingga pada suatu saat ia meninggal dunia.
Hak Asasi manusia di suatu Negara berbeda dengan negara lain dalam hukum dan praktek penegakan hukumnya, maupun dalam bentuk perlindungan dan pelaksanaan hukumnya, Hak asasi manusia yang perlu ditegakkan itu haruslah disertai dengan perlindungan hukum baik dalam bentuk Undang-Undang maupun peraturan.
Perlu dipertegas bahwa Hak Asasi Manusia itu berlaku Universal untuk semua orang dan disemua Negara, namun demikian praktek penegakan, pemajuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia disuatu negara akan berbeda dengan negara lainnya.
Di Indonesia HAM ini sudah dikenal secara formal yaitu didalam UUD 1945, termasuk dalam pembukaannya meskipun demikian masih banyak hal yang menyangkut HAM yang belum dapat ditegakkan, antara lain belum adanya landasan hukum nasional dipakai sebagai pedoman walaupun ” Universal Declaration Of Human Rigt ” lebih dari setengah abad.
Untuk memperdalam dalam pengertian HAM maka perlu dikutib pertimbangan yang terdapat dalam UU No.26 Tahun 2000 yang berbunyi sebagai berikut :
” Bahwa Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat Universal dan langgeng oleh karena itu harus dilindungi, dihormati dan tidak boleh diabaikan “
Selain dari Undang-Undang No.26 Tahun 2000, juga definisinya tentang apa yang dimaksud dengan HAM berpedoman pada apa yang tertuang secara normatif di dalam Undang-Undang, dan menurut UU No.39 Tahun 1999, yang dimaksud dengan HAM terdiri dari 7 (tuju) jenis prinsip sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi :
” Yang dimaksud dengan HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekatnya dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dujunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum dan Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia “
Hak Asasi Manusia (Fundamental Rights) artinya hak yang bersifat mendasar (grounded), HAM adalah hak-hak yang bersifat mendasar dan inheren dengan jati diri manusia secara universal, oleh karena itu menelaah HAM adalah menelaah totalitas kehidupan, sejauh mana kehidupan kita memberi tempat yang wajar kepada kemanusiaan.
Siapapun manusianya berhak memiliki hak tersebut, artinya disamping keabsahannya terjaga dalam eksitensi kemanusian, manusia juga terdapat kewajiban yang sungguh-sungguh untuk dimengerti, dipahami dan bertanggung jawab untuk memeliharanya.
Sedangkan Hak Dasar Hak Asasi Manusia adalah sebagai berikut :
Asas-asas Dasar Pasal 2 berbunyi
“ Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan kebebasan dasar manusia sebagai hak secara kodrat melekat pada diri manusia dan tidak terpisahkan dari manusia yang harus dilindungi, dihormati dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan “
Demikian untuk Hak Hidup
Pasal 4 berbunyi sebagai berikut :
” Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui secara pribadi dan persamaan dihadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak manausia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun “
HAM DALAM UUD 1945
Dalam UUD 1945 sering disebut dengan UUD Proklamasi, dan kemunculannya bersamaan dengan lahirnya Negara Indonesia melalui proklamasi kemerdekaan, satu hal yang menarik meskipun UUD 1945 adalah hukum dasar yang tertulis yang didalamnya memuat hak-hak dasar manausia Indonesia serta kewajibannya yang bersifat dasar pula, namun istilah perkataan HAM itu sendiri tidak dijumpai didalam UUD 1945 , baik dalam pembukaan, batang tubuh mauoun penjelasan dan yang ditemukan bukanlah HAM melainkan Hak dan kewajiban warganegara.
HAM DALAM PASKA KEMBALI KE UUD 1945.
Paska keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 praktis hukum dasar ketetanegaraan Indonesia mengalami suasana ke keadaan UUD 1945 dan Dekrit tersebut menjadi dasar hukum berlakunya kembali muatan-muatan yang terkandung dalam UUD 1945 oleh karena itu pengaturan HAM adalah sama dengan apa yang tertuang dalam UUD 1945.
HAM DALAM PERUBAHAN KEDUA UUD 1945.
1. Amandemen UUD 1945.
Dalam sejarah UUD 1945, perubahan UUD merupakan sejarah baru bagi masa depan Konstitusi Indonesia dan perubahan UUD 1945 dilakukan sebagai buah dari amanat reformasi pembangunan nasional sejak turunnya Rezim Soeharto (1967-1998) dan UUD 1945 terdapat 4 (empat) kali perubahan yang berturut-turut telah dilakukan sejak tahun 1999 sampai denagan tahun 2002.
Khusus mengenai pengaturan HAM dalam dilihat pada perubahan kedua UUD 1945 tahun 2000, perubahan dan kemajuan signifikan adalah dengan dicantumkannya persoalan HAM secara tegas dalam sebuah Bab tersendiri, yakni bab XA (Hak Asasi manusia) dan mulai Pasal 28 A sampai dengan 28 J dan sesuai dengan Pasal 28 A yang berbunyi :
” Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya “
dan kemajuan lain dapat juga dilihat pada Pasal 281 yang berbunyi sebagai berikut :
” Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi manusia ysng tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
2. Ketetapan Dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pada sidang umum tahun 1998 sebagai lembaga tinggi negara MPR telah berhasil menetapkan Ketetapan Majelelis Permusyawatan Rakyat No.XVII/MPR/1998 mengenai Hak Asasi Manusia, dan ketetapan ini berusaha mengkristalisasikan seluruh perkembangan gagasan nasional mengenai HAM.
3. Undang-Undang No.5 Tahun 1986 , tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Walaupun tidak secara eksplisit dimaksudkan sebagai pengadilan yang dirancang untuk melindungi HAM, namun eksistensi Peradilan Tata Usaha Nnegara (PTUN) ini penting, karena Peradilan ini berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara berdasarkan pengaduan dari seseorang yang merasa dirinya dirugikan oleh seorang pejabat Tata Usaha Negara dan pejabat tersebut dari pegawai Negeri Rendahan sampai dengan Presiden.
EMBRIO DAN PERKEMBANGAN PEMBATASAN HAM DI INDONESIA
Hasil amandemen UUD 1945 memberikan suatu titik terang bahwa Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari Pemerintah. Amandemen kedua bahkan telah menelurkan satu Bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia yaitu pada Bab XA. Apabila kita telaah menggunakan perbandingan konstitusi dengan negara-negara lain, hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab tidak banyak negara di dunia yang memasukan bagian khusus dan tersendiri mengenai HAM dalam konstitusinya.
Namun demikian, pemasukan pasal-pasal mengenai HAM sebagai suatu jaminan konstitusi (constitutional guarantee) ternyata masih menyimpan banyak perdebatan di kalangan akademisi maupun praktisi HAM. Fokus permasalahan terjadi pada dua pasal yang apabila dibaca secara sederhana mempunyai pengertian yang saling bertolak belakang, yaitu mengenai ketentuan terhadap non-derogable rights (Pasal 28I) dan ketentuan mengenai human rights limitation (Pasal 28J). Benarkah dalam UUD 1945 itu tersendiri terdapat pembatasan atas ketentuan HAM, termasuk di dalamnya terhadap Pasal 28I yang di akhir kalimatnya berbunyi ”...adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”? Tulisan ringan ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan pendapat the 2nd founding parents serta tafsir resmi dari Mahkamah Konstitusi.
Rujukan Dasar
Rujukan yang melatarbelakangi perumusan Bab XA (Hak Asasi Manusia) UUD 1945 adalah Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Hal ini dikemukakan oleh Lukman Hakim Saefuddin dan Patrialis Akbar, mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (PAH I BP MPR) yang bertugas menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945, pada persidangan resmi di Mahkamah Konstitusi bertanggal 23 Mei 2007. Ketetapan MPR tersebut kemudian melahirkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat keduanya, baik itu Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 maupun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah sama yakni menganut pendirian bahwa hak asasi manusia bukan tanpa batas.
Dikatakan pula bahwa semangat yang sama juga terdapat dalam pengaturan tentang hak asasi dalam UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Oleh karenanya, hal yang perlu ditekankan di sini bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Jika kita menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.”
Konstitusionalisme Indonesia
Dalam perkara yang sama, Mahkamah menilai bahwa apabila kita melihat dari sejarah perkembangan konstitusionalisme Indonesia, sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni UUD 1945 sebelum Perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah Perubahan, tampak adanya kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi oleh suatu undang-undang. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup, meskipun dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”;
2. Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan “Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut, “Peraturan-peraturan undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi”;
3. Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia) sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang demokratis”;
4. UUD 1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan paham konstitusi (konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi Indonesia sebelumnya, yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana telah diuraikan di atas;
Sejalan dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang HAM sebagaimana telah diuraikan di atas, ketika kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM, kedua produk hukum ini tampak sebagai kelanjutan sekaligus penegasan bahwa pandangan konstitusionalisme Indonesia tidaklah berubah karena ternyata keduanya juga memuat pembatasan terhadap hak asasi manusia. Sebagai contoh yaitu adanya pembatasan mengenai hak untuk hidup (right to life):
1. Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa Terhadap Hak Asasi Manusia” yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pasal 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”, namun dalam Pasal 36-nya juga dimuat pembatasan terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup sebagai berikut, “Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”;
2. UU HAM dalam Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan dalam Pasal 4 ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun, Penjelasan Pasal 9 UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam dua hal, yaitu dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam hal pidana mati berdasarkan putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU HAM juga memuat ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagai berikut, “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.
Selain itu, putusan Mahkamah yang dapat kita jadikan rujukan mengenai pembatasan terhadap HAM di Indonesia yaitu Putusan Nomor 065/PUU-II/2004 mengenai pengujian terhadap diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku surut dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diajukan oleh Pemohon Abilio Jose Osorio Soares
Sebagaimana dipahami, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, terdapat sejumlah hak yang secara harfiah dirumuskan sebagai “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dalam konteks ini, Mahkamah menafsirkan bahwa Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2), sehingga hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah bersifat mutlak.
Oleh karena hak-hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu yang termasuk dalam rumusan “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” dapat dibatasi, maka secara prima facie berbagai ketentuan hak asasi manusia di luar dari Pasal tersebut, seperti misalnya kebebasan beragama (Pasal 28E), hak untuk berkomunikasi (Pasal 28F), ataupun hak atas harta benda (Pasal 28G) sudah pasti dapat pula dibatasi, dengan catatan sepanjang hal tersebut sesuai dengan pembatasan-pembatasan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.
Kesimpulan
Adanya tafsir resmi Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya terkait dengan pembatasan HAM di Indonesia telah memberikan kejelasan bahwasanya tidak ada satupun Hak Asasi Manusia di Indonesia yang bersifat mutlak dan tanpa batas. Penulis sangat memahami apabila banyak pihak yang beranggapan bahwa konstruksi HAM di Indonesia masih menunjukan sifat konservatif, terutama apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di berbagai belahan dunia lainnya. Lebih lanjut, apabila kita menggunakan salah satu dari pilihan penafsiran hukum tata negara yang berjumlah sebanyak dua puluh tiga macam, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya “Pengantar Hukum Tata Negara”, tentunya semakin membuahkan hasil penafsiran yang beraneka ragam.
Namun demikian, Hukum Tata Negara haruslah kita artikan sebagai apa pun yang telah disahkan sebagai konstitusi atau hukum oleh lembaga yang berwenang, terlepas dari soal sesuai dengan teori tertentu atau tidak, terlepas dari sama atau tidak sama dengan yang berlaku di negara lain, dan terlepas dari soal sesuai dengan keinginan ideal atau tidak. Inilah yang disebut oleh Prof. Mahfud M.D sebagai “Politik Hukum” dalam buku terbarunya berjudul “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi”. Menurutnya, Hukum Tata Negara Indonesia tidak harus sama dan tidak pula harus berbeda dengan teori atau dengan yang berlaku di negara lain. Apa yang ditetapkan secara resmi sebagai hukum tata negara itulah yang berlaku, apa pun penilaian yang diberikan terhadapnya.
Terlepas dari semua hal tersebut di atas, satu hal yang perlu kita kita garis bawahi di sini bahwa Konstitusi haruslah dapat mengikuti perkembangan jaman sehingga acapkali ia dikatakan sebagai a living constitution. Oleh karena itu, konsepsi pembatasan terhadap HAM pada saat ini dapat saja berubah di masa yang akan datang. Sekarang tinggal bagaimana mereka yang menginginkan adanya perubahan konstruksi pemikiran ke arah tertentu, dapat memanfaatkan jalur-jalur konstitusional yang telah tersedia, misalnya dengan menempuh constitutional amandmend, legislative review, judicial review, constitutional conventions, judicial jurisprudence, atau pengembangan ilmu hukum sebagai ius comminis opinio doctorum sekalipun.
Pelanggaran HAM dan pengadilan HAM
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Sedangkan bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat itu.
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan kelompok agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, dan memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM).
Pasal8 UU 26/2000: setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a. Membunuh anggota kelompok;
b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c. Menciptakankondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baikseluruh atau sebagiannya;
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran didalam kelompok; atau
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu kekelompok lain.
Sementara itu kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut tujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid.
Pasal 9 UU 26/2000: salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. Pengusiranataupemindahanpenduduksecarapaksa;
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hokum internasional;
f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakanseksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alas an lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hokum internasional;
i. Penghilangan orang secara paksa; atau
j. Kejahatan apartheid
Pelanggaran terhadap HAM dapat dilakukan oleh baik aparatur negara maupun bukan aparatur negara (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Karena itu penindakan terhadap pelanggaran HAM tidak boleh hanya ditujukan terhadap aparatur negara, tetapi juga pelanggaran yang dilakukan bukan oleh aparatur negara. Penindakan terhadap pelanggaran HAM mulai dari penyelidikan, penuntutan, dan persidangan terhadap pelanggaran yang terjadi harus bersifat non-diskriminatif dan berkeadilan. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan umum.
Penanggung jawab dalam penegakan (respection), pemajuan (promotion), perlindungan (protection) dan pemenuhan (fulfill) HAM.
Dalam hal ini, ada dua pandangan yaitu: Pertama, bahwa yang harus bertanggung jawab memajukan HAM adalah negara, karena negara dibentuk sebagai wadah untuk kepentingan kesejahteraan rakyatnya. Kedua, bahwa tanggung jawab kemajuan, penghormatan, dan perlindungan HAM tidak saja dibebankan kepada negara, melainkan juga kepada individu warga negara.
Dalam kaitan dengan tanggung jawab individu tersebut, Nickel mengemukakan tiga alasan mengapa individu bertanggung jawab dalam menegakkan dan perlindungan HAM. Pertama, sejumlah besar problem HAM tidak hanya melibatkan aspek pemerintah, tetapi juga kalangan swasta atau kalangan di luar negara dalam hal ini rakyat. Kedua, HAM bersandar pada pertimbangan normatif agar manusia diperlakukan sesuai dengan human dicnity-nya. Ketiga, individu bertanggung jawab atas dasar prinsip-prinsip demokrasi, dimana setiap orang memiliki kewajiban untuk mengawasi tindakan pemerintah.
Dalam masyarakat yang demokratis, suatu yang menjadi kewajiban pemerintah juga menjadi kepentingan rakyat. Tanggung jawab pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM tidak saja dibebankan kepada negara, melainkan juga kepada individu warga negara. Artinya negara dan individu sama-sama memiliki tanggung jawab terhadap pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM. Karena itu, pelanggaran HAM sebenarnya tidak saja dilakukan oleh negara kepada rakyatnya, melainkan juga oleh rakyat kepada rakyat yang disebut dengan pelanggaran HAM secara horizontal.
Contoh-Contoh Kasus Pelanggaran HAM
• Terjadinya penganiayaan pada praja STPDN oleh seniornya dengan dalih pembinaan yang menyebabkan meninggalnya Klip Muntu pada tahun 2003.
• Dosen yang malas masuk kelas atau malas memberikan penjelasan pada suatu mata kuliah kepada mahasiswa merupakan pelanggaran HAM ringan kepada setiap mahasiswa.
• Para pedagang yang berjualan di trotoar merupakan pelanggaran HAM terhadap para pejalan kaki, sehingga menyebabkan para pejalan kaki berjalan di pinggir jalan sehingga sangat rentan terjadi kecelakaan.
• Para pedagang tradisioanal yang berdagang di pinggir jalan merupakan pelanggaran HAM ringan terhadap pengguna jalan sehingga para pengguna jalan tidak bisa menikmati arus kendaraan yang tertib dan lancar.
• Orang tua yang memaksakan kehendaknya agar anaknya masuk pada suatu jurusan tertentu dalam kuliahnya merupakan pelanggaran HAM terhadap anak, sehingga seorang anak tidak bisa memilih jurusan yang sesuai dengan minat dan bakatnya.
Senin, 01 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar